CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Tuesday, June 3, 2008

Kebahagiaan?

Konsep Kebahagiaan Dalam Islam
Oleh: Ustadz Abdul Latief
Kondisi senantiasa bahagia dalam situasi apa pun, inilah. yang senantiasa dikejar oleh manusia. Manusia ingin hidup bahagia. Hidup tenang, tenteram, damai, dan sejahtera. Sebagian orang mengejar kebahagiaan dengan bekerja keras untuk menghimpun harta. Dia menyangka bahwa pada harta yang berlimpah itu terdapat kebahagaiaan. Ada yang mengejar kebahagiaan pada tahta, pada kekuasaan. Beragam cara dia lakukan untuk merebut kekuasaan. Sehab menurtnya kekuasaan identik dengan kebahagiaan dan kenikmatan dalam kehidupan. Dengan kekuasaan sesrorang dapat berbuat banyak. Orang sakit menyangka, bahagia terletak pada kesehatan. Orang miskin menyangka, bahagia terletak pada harta kekayaan. Rakyat jelata menyangka kebahagiaan terletak pada kekuasaan. Dan sangkaan-sangkaan lain.

Lantas apakah yang disebut"bahagia' (sa'adah/happiness)?

Selama ribuan tahun, para pemikir telah sibuk membincangkan tentang kebahagiaan. Kebahagiaan adalah sesuatu yang ada di luar manusia, dan bersitat kondisional. Kebahagiaan bersifat sangat temporal. Jika dia sedang berjaya, maka di situ ada kebahagiaan. Jika sedang jatuh, maka hilanglah kebahagiaan. Maka. menurut pandangan ini tidak ada kebahagiaan yang abadi dalam jiwa manusia. Kebahagiaan itu sifatnya sesaat, tergantung kondisi eksternal manusia. Inilah gambaran kondisi kejiwaan masyarakat Barat sebagai: "Mereka senantiasa dalam keadaan mencari dan mengejar kebahagiaan, tanpa merasa puas dan menetap dalam suatu keadaan.

Islam menyatakan bahwa "Kesejahteraan' dan "kebahagiaan" itu bukan merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri hayawani sifat basyari; dan bukan pula dia suatu keadaan hayali insan yang hanva dapat dinikmati dalam alam fikiran belaka.

Keselahteraan dan kebahagiaan itu merujuk kepada keyakinan diri akan hakikat terakhir yang mutlak yang dicari-cari itu — yakni: keyakinan akan Hak Ta'ala — dan penuaian amalan yang dikerjakan oleh diri berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah batinnya.'

Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati yang dipenuhi dengan keyakinan (iman) dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Bilal bin Rabah merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya meskipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke penjara dan dicambuk setiap hari, karena menolak diangkat menjadi hakim negara. Para sahabat nabi, rela meninggalkan kampung halamannya demi mempertahankan iman. Mereka bahagia. Hidup dengan keyakinan dan menjalankan keyakinan.



Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannva. Sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Apakah kamu tidak memahaminya?

Menurut al-Ghazali, puncak kebahagiaan pada manusia adalah jika dia berhasil mencapai ma'rifatullah", telah mengenal Allah SWT. Selanjutnya, al-Ghazali menyatakan:

"Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu bila kita rasakan nikmat, kesenangan dan kelezatannya mara rasa itu ialah menurut perasaan masing-masing. Maka kelezatan (mata) ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota yang lain dan tubuh manusia.

Ada pun kelezatan hati ialah ma'rifat kepada Allah, karena hati dijadikan tidak lain untuk mengingat Tuhan. Seorang rakyat jelata akan sangat gembira kalau dia dapat herkenalan dengan seorang pajabat tinggi atau menteri; kegembiraan itu naik berlipat-ganda kalau dia dapat berkenalan yang lebih tinggi lagi misalnya raja atau presiden.

Maka tentu saja berkenalan dengan Allah, adalah puncak dari segala macam kegembiraan. Lebih dari apa yang dapat dibayangkan oleh manusia, sebab tidak ada yang lebih tinggi dari kemuliaan Allah. Dan oleh sebab itu tidak ada ma'rifat yang lebih lezat daripada ma'rifatullah.

Ma'rifalullah adalah buah dari ilmu. Ilmu yang mampu mengantarkan manusia kepada keyakinan. bahwa tiada Tuhan selain Allah" (Laa ilaaha illallah). Untuk itulah, untuk dapat meraih kebahagiaan yang abadi, manusia wajib mengenal Allah. Caranya, dengan mengenal ayat-ayat-Nya, baik ayat kauniyah maupun ayat qauliyah.

Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang memerintahkan manusia memperhatikan dan memikirkan tentang fenomana alam semesta, termasuk memikirkan dirinya sendiri.

Disamping ayat-ayat kauniyah. Allah SWT juga menurunkan ayat-ayat qauliyah, berupa wahyu verbal kepada utusan-Nya yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw. Karena itu, dalam QS Ali Imran 18-19, disebutkan, bahwa orang-orang yang berilmu adalah orang-orang yang bersaksi bahwa "Tiada tuhan selain Allah", dan bersakssi bahwa "Sesungguhnya ad-Din dalam pandangan Allah SWT adalah Islam."

Inilah yang disebut ilmu yang mengantarkan kepada peradaban dan kebahagiaan. Setiap lembaga pendidikan. khususnya lembaga pendidikan Islam. harus mampu mengantarkan sivitas akademika-nya menuju kepada tangga kebahagiaan yang hakiki dan abadi. Kebahagiaan yang sejati adalah yang terkait antara dunia dan akhirat.

Kriteria inilah yang harusnya dijadikan indikator utama, apakah suatu program pendidikan (ta'dib) berhasil atau tidak. Keberhasilan pendidikan dalam Islam bukan diukur dari berapa mahalnya uang hayaran sekolah; berapa banyak yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri dan sebagainya. Tetapi apakah pendidikan itu mampu melahirkan manusia-manusia yang beradab yang mengenal Tuhannya dan beribadah kepada Penciptanya.

Manusia-manusia yang berilmu seperti inilah yang hidupnya hahagia dalam keimanan dan keyakinan: yang hidupnya tidak terombang-ambing oleh keadaan. Dalam kondisi apa pun hidupnya bahagia, karena dia mengenal Allah, ridha dengan keputusanNya dan berusaha menyelaraskan hidupnya dengan segala macam peraturan Allah yang diturunkan melalui utusan-Nya.

Karena itu kita paham, betapa berbahayanya paham relativisme kebenaran yang ditaburkan oleh kaum liberal. Sebab, paham ini menggerus keyakinan seseorang akan kebenaran. Keyakinan dan iman adalah harta yang sangat mahal dalam hidup. Dengan keyakinan itulah, kata Igbal, seorang Ibrahim a.s. rela menceburkan dirinya ke dalam api. Penyair besar Pakistan ini lalu bertutur hilangnya keyakinan dalam diri seseorang. lebih buruk dari suatu perbudakan.

Sebagai orang Muslim, kita tentu mendambakan hidup bahagia semacarn itu; hidup dalam keyakinan: mulai dengan mengenal Allah dan ridha, menerima keputusan-keputusan-Nva, serta ikhlas menjalankan aturan-aturan-Nya. Kita mendambakan diri kita merasa bahagia dalam menjalankan shalat, kita bahagia menunaikan zakat, kita bahagia bersedekah, kita bahagia menolong orang lain, dan kita pun bahagia menjalankan tugas amar ma'ruf nahi munkar.

Dalam kondisi apa pun. maka "senangkanlah hatimu!" Jangan pernah bersedih.

"Kalau engkau kaya. senangkanlah hatimu! Karena di hadapanmu terbentang kesempatan untuk mengerjakan yang sulit-sulit melalui hartamu.

"Dan jika engkau fakir miskin, senangkan pulalah hatimu! Karena engkau telah terlepas dari suatu penyakit jiwa, penyakit kesombongan yang sering menimpa orang-orang kaya. Senangkanlah hatimu karena tak ada orang yang akan hasad dan dengki kepadamu lagi, lantaran kemiskinanmu..."

"Kalau engkau dilupakan orang, kurang masyhur, senangkan pulalah hatimu! Karena lidah tidak banyak yang mencelamu, mulut tak banyak mencacimu..."

Mudah-mudahan. Allah mengaruniai kita ilmu yang mengantarkan kita pada sebuah keyakinan dan kebahagiaan abadi, dunia dan akhirat. Amin.

petikan : http://www.pesantrenvirtual.com

Imam al-Ghazali, seperti dikutip Hamka dalam Tasaud Modern, mengungkapkan:
”Bahagia dan kelezatan yang sejati, ialah bilamana dapat mengingat Allah.”

Hutai’ah, seorang ahli syair, menggubah sebuah syair:

ولست آرى السعادة جمع مال * ولكن التقى لهي السعيد

(Menurut pendapatku, bukanlah kebahagiaan itu pada pengumpul harta benda;Tetapi, taqwa akan Allah itulah bahagia).

Ketaqwaan Dalam Perkahwinan

Setiap tindak-laku yang kita lakukan pasti mempunyai tujuan dan matlamat yang tertentu. Baik perkara itu berupa amal perbuatan, ibadah, pekerjaan, pemikiran atau percakapan. Begitu juga dengan tujuan dan matlamat hidup kita, pasti ada tujuan dan matlamatnya.

Sebagai orang-orang yang beriman, hakikat hidup kita di muka bumi ini adalah semata-mata untuk beribadat kepada Allah s.w.t. Sebagaimana firman Allah di surah Ad-Dzariyat, ayat 56 yang bermaksud:

"Dan tidaklah Aku (Allah) ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadat kepada Ku."

Matlamat dan tujuan manusia itu diciptakan oleh Allah s.w.t adalah semata-mata agar mereka mengabdikan diri kepadaNya, pengabdian berbentuk mematuhi apa yang disuruh oleh Allah dan meninggalkan apa yang dilarang. Inilah hakikat hidup yang sebenar dan hakikat hidup inilah yang perlu kita hayati dalam mengharungi alam yang fana' ini.

Begitu juga hakikat dan tujuan apabila seseorang itu mendirikan rumah tangga. Di dalam Islam, perkahwinan merupakan satu hadiah dan pemberian dari Allah. Allah s.w.t berfirman dalam surah Al-Araf ayat 189:

"Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari diri tersebut Allah menciptakan isteri baginya agar ia merasa senang kepadanya."

Bagaimana cara kita melangsungkan majlis perkahwinan kita ini akan menentukan cara bagaimana kita akan memulakan hidup berumahtangga kita kelak. Justeru itu, berusahalah memulakan perkahwinan anda atau perkahwinan anak anda dengan cara yang baik.

Kita haruslah berhati-hati bila melangsungkan perkahwinan kita sendiri atau anak-anak kita. Jauhkanlah dari perbuatan-perbuatan yang berunsur khurafat atau yang keterlaluan.

Islam tidak melarang umatnya untuk mengadakan dan meraikan majlis-majlis yang seumpana ini, malahan kita digalakkan untuk meraikannya. Tetapi jika kita lihat keadaan masyarakat kita beberapa tahun kebelakangan ini, kita akan dapati banyak lagi di kalangan mereka yang masih jahil akan tujuan dan matlamat pernikahan yang sebenar, lalu mereka mengadakan majlis secara besar-besaran dan di luar kemampuan, dengan menggalakkan percampuran lelaki dan perempuan, mengadakan majlis tari-menari dan persembahan muzik yang melampau batas Islam. Ini semua bertentangan dengan ajaran Islam. Adakah dengan keghairahan kita menyambut majlis perkahwinan, kita membelakangkan ajaran Islam? Dimanakah identiti kita sebagai seorang Muslim apabila kita mencampurkan majlis perkahwinan kita dengan perkara-perkara maksiat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam?

Perkara terpenting dalam perkahwinan, yang rasanya diabaikan oleh kebanyakan umat Islam zaman sekarang ini, adalah keberkahan dari Allah s.w.t. Keberkahan inilah yang akan membantu mempelai tersebut membina mahligai yang bahagia dan utuh. Untuk mendapat keberkahan ini, kita mesti mengikut ajaran Islam.

Pertama: Asingkan tempat duduk lelaki dan wanita. Ini akan mengurangkan fitnah dan menghindarkan maksiat mata.

Kedua: Jauhkanlah dari perkara-perkara yang membazir yang tidak membawa faedah seperti perhiasan pelamin yang melampau batas. Allah s.w.t berfirman didalam surah Al-Isra, ayat 27:

"Sesungguhnya orang-orang yang membazir adalah kawan syaithan. Dan syaithan tersebut amat kufur terhadap Tuhan nya."

Ketiga: Pastikanlah bahawa mempelai menjaga batas aurat. Janganlah mempamerkan mempelai wanita kepada mereka yang bukan mahramnya, kerana ini bertentangan dengan ajaran Islam.

Keempat: Bataskanlah lagu dan muzik yang diadakan sempena majlis perkahwinan tersebut kepada yang diharuskan oleh Islam sahaja. Muzik yang tidak dilarang oleh Islam adalah muzik yang tidak melalaikan dan tidak mengandungi perkara-perkara yang dilarang oleh Islam.

Kelima: Tinggalkanlah perkara-perkara khurafat dalam perkahwinan, juga adat-adat yang berasal dari ugama Hindu seperti upacara tepung tawar dan renjis-merenjis.

Perkahwinan merupakan satu peringkat hidup yang penting sekali. Ia adalah sesuatu yang suci dan diberkati oleh Allah s.a.w kepada hamba-hambanya. Janganlah ia dicemari dengan perbuatan khurafat, pembaziran dan maksiat. Biarlah ia bermula dengan sesuatu yang suci dan murni semoga rumahtangga tersebut akan terus diberkati Allah s.w.t.

Cara untuk mencapai rumahtangga yang bahagia terletak di tangan anda. Sayugia diingatkan bahawa setiap kita merupakan saudara kepada yang lain. Justeru itu kita mempunyai tanggungjawab untuk membimbing satu sama lain ke jalan yang benar. Samada ini merupakan perkahwinan anda sendiri, perkahwinan anak-anak anda, adik beradik anda atau rakan anda, adalah menjadi tanggungjawab anda untuk menentukan bahawa mereka dibimbing dan disemai dengan nilai-nilai Islam yang betul supaya mereka akan memulakan perkahwinan mereka dengan baik, tanpa adanya perbuatan yang berdosa. Bimbinglah saudara-saudara kita ke jalan yang benar untuk mencapai kebahagian berumahtangga, insya Allah.

Baarakallah.....